- Stop Illegal logging - Stop Perburuan dan Perdagangan Illegal Satwa Dilindungi-

Senin, 10 November 2008

Agar Banjir Bandang Tak Kembali Datang...

Kejadian tanah tanah longsor dan banjir bandang yang menimpa Jorong Sasak Kandang, Nagari Malalak, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam turut meramaikan serentetan kejadian bencana alam yang terjadi di tanah air dalam sepekan terakhir ini. Hari naas itu telah menyebabkan 4 orang tewas dan kerugian lainnya yang tak ternilai


Peristiwa alam tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa alam sedang bergolak menuju keseimbangan baru. Kondisi ini akan terus bergerak menyesuaikan diri terhadap intervensi manusia yang tidak pernah berhenti mempengaruhinya, serta kemungkinan perubahan alam itu sendiri. Yang perlu dicermati, proses alam dalam menuju keseimbangan baru ini sering kurang bisa ditangkap maknanya oleh manusia, sebaliknya manusia seringkali saling menyalahkan bukannya mencari solusi yang arif.


Tulisan ini mencoba mengajak memaknai gejala alam yang terjadi melalui analisis empiris utamanya di sektor kehutanan dari proses alam, yang kemudian dijadikan landasan pemikiran upaya tindak lanjut.


Banjir Bandang


Banjir bandang, air bah, longsor atau galodo adalah istilah kolektif dengan cakupan yang luas terhadap peristiwa pergerakan massa material debris secara gravitasi yang dalam bahasa teknik dikenal sebagai aliran debris (debris flow). Secara terminologi, banyak penggunaan istilah pergerakan massa debris atau sedimen yang tidak konsisten dan seringkali membingungkan seperti debris flow, mud flow, debris torrent, mud flood, debris avalanche. Masalah penyebutan nomenklatur tersebut timbul pada umumnya disebabkan oleh banyaknya variasi proses geologi yang terkait dengan aliran campuran air dan sedimen tersebut tanpa batasan yang jelas antara satu dengan yang lain.


Secara spesifik aliran debris didefinisikan sebagai aliran campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur kebawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi. Aliran ini seringkali membawa batu-batu besar dan batang, batang pohon, meluncur kebawah dengan kecepatan tinggi (biasanya masih dibawah kecepatan mudflow) dengan kemampuan daya rusak yang besar terhadap apa saja yang dilaluinya seperti bangunan rumah atau fasilitas lainnya sehingga mengancam kehidupan manusia. Aliran debris tidak terkait langsung dengan letusan gunungapi, namun dapat terjadi di daerah vulkanik maupun non-vulkanik.


Untuk keperluan praktis di lapangan dibedakan secara tegas terminologi untuk debris flow dengan mud flow. Ada yang mengklasifikasikan aliran debris dalam dua karakteristik yang berbeda yaitu aliran debris tipe berbatuan (gravel type debris flow) merupakan aliran debris yang mengandung banyak batu-batu besar dan aliran debris tipe lumpur (mudflow type debris flow) merupakan aliran debris dengan kandungan batu besar sedikit dan lebih didominasi oleh kandungan pasir dan batu-batu kecil.


Dalam suatu sistem DAS, hujan adalah faktor input, DAS itu sendiri sebagai prosesor, dan tata air di hilir sebagai output. Apabila hujan sebagai faktor input tidak dapat dikendalikan, maka kondisi tata air kemudian akan sangat tergantung pada kondisi DAS. Di dalam DAS itu sendiri terdapat bermacam-macam penggunaan lahan, antara lain hutan, pertanian lahan kering, persawahan, pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan lain sebagainya. Mekanisme jalannya air hujan sampai menjadi air sungai di outlet mengikuti proses siklus air (siklus hidrologi). Dengan demikian, maka jalannya air hujan sampai menjadi aliran air di sungai yang mengikuti siklus air akan tergantung pada seluruh penggunaan lahan di DAS.


Selama ini penggunaan lahan hutan dianggap paling berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir. Secara konvensional hutan memang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengatur tata air, tetapi menurut penelitian, pada curah hujan tertentu yang ekstrim, hutan menjadi tidak efektif dalam mengendalikan tata air.

Terdapat tiga tipe aliran debris yang dipicu oleh air hujan:

  1. Lereng gunung atau tebing akibat hujan deras runtuh, material runtuhan yang bersifat lepas bercampur air permukaan menjadi aliran debris.
  2. Material lepas hasil runtuhan kaki gunung atau tebing terakumulasi sementara di lembah atau alur sungai membentuk bendung alam. Ketika muka air tampungan naik, terjadi piping atau limpasan menyebabkan longsoran tubuh dam. Material longsoran bercampur air membentuk aliran debris.
  3. Deposit sedimen di lembah meluruh akibat pasokan air (hujan) yang sangat besar dan membentuk aliran debris.

Upaya mitigasi bencana aliran debris secara teknis dapat dilaksanakan melalui tindakan fisik dan non pisik. Secara fisik usaha pengendalian aliran debris ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi SABO yang sudah dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia sejak sekitar 30 tahun yang lalu menggunakan prinsip-prinsip Sabo Engineering. Beberapa fasilatas perlu dibangun untuk pengendalian aliran debris, yaitu :

  1. Fasilitas untuk menekan produksi aliran debris dengan cara menstabilkan kaki bukit dan deposit material di lembah. Perencanaan Reduksi Produksi Sedimen ditekankan pada usaha untuk mengurangi terjadinya runtuhan tebing, tanah longsor, erosi dasar sungai dan tebing sungai yang disebabkan oleh curah hujan tinggi.
    Tujuan mereduksi produksi sedimen tersebut adalah menampung sedimen yang terlepas dari sumbernya (devastation area), mencegah terjadinya kerusakan baru lahan (new devastation area), mengurangi produksi sedimen yang berbahaya.
    Volume sedimen yang akan direduksi oleh struktur bangunan sabo ditentukan dari ukuran bangunan, topografi, geologi, kondisi vegetasi dan stabilitas tanahnya. Perencanaan struktur bangunan tersebut memformulasikan bahwa wilayah pegunungan merupakan sumber utama produksi sedimen,sedangkan alur sungai sebagai sumber kedua.
  2. Fasilitas untuk mencegah pergerakan aliran debris ke arah hilir dengan cara menahan atau menampung sebagian aliran debris di bagian tengah dan hilir Daerah Aliran Sungai. Reduksi dilakukan dengan menampung kelebihan sedimen pada bangunan Sabo. Volume sedimen yang direduksi ditampung terbagi secara efektif pada bangunan-bangunan Dam Sabo atau kantong pasir yang direncanakan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain, tipe aliran sedimen, kondisi daerah yang dilindungi, topografi, kemiringan dasar sungai, rencana kelebihan sedimen dan ukuran butirannya, tingkat kerusakan alurnya, kemampuan bangunan Sabo dalam menampung sedimen.
  3. Fasilitas untuk mengendalikan luapan dan penyebaran aliran debris dengan menyediakan tampungan aliran debris di bagian hilir daerah tangkapan sungai atau mengarahkan aliran menjauhi perumahan atau fasilitas penting lainnya.

Tindakan penanggulangan bencana aliran debris tidak hanya menyangkut hal-hal teknis tetapi juga perlu mencakup tindakan non fisik bersifat koordinatif dan menjangkau aspek kelembagaan. Beberapa upaya non fisik yang dapat dilakukan untuk penanggulangan aliran debris yaitu :

  1. Membuat sistem peringatan dini yang mengintegrasikan technology debris flow monitoring sistem dan kelembagaan yang mapan sehingga sistem peringatan dini bisa ditindaklanjuti secara sinergis, cepat dan tepat.
  2. Mengendalikan tataguna lahan
    Penanggulangan bencana banjir akan sangat tergantung pada pengelolaan setiap jenis penggunaan lahan di DAS. Program pengelolaan DAS bukan merupakan suatu paket kegiatan yang dikerjakan oleh suatu institusi tertentu, tetapi lebih merupakan kesepahaman bersama dari seluruh pihak di dalam DAS tersebut untuk melakukan aksi yang selaras dengan perencanaan kegiatan untuk DAS tersebut. Jadi pengelolaan DAS akan mencakup kegiatan penataan ruang dalam DAS dan pengelolaan masing-masing penggunaan lahan di dalam DAS tersebut. Aspek kelembagaan DAS kemudian menjadi faktor penting karena akan mencakup jejaring kerja institusi, kemampuan institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS, dan aturan main yang ada antar institusi yang terlibat.
    Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan bagian penting dari upaya pengelolaan DAS dan terutama diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengendalian banjir dan tanah longsor, di samping memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) harus merupakan aksi bersama memperbaiki lingkungan DAS. Dari analisis kuantitatif dapat diperhitungkan bahwa GERHAN akan memberikan kontribusi sebesar 69% terhadap perbaikan DAS.
  3. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat
    Sosialisasi kepada masyarakat tentang potensi ancaman bencana aliran debris di daerah bersangkutan,daerah produksi sedimen, pengaliran sedimen dan pengendapan sedimen, dan lain lain, sehingga masyarakat lebih paham terhadap perilaku aliran debris
    Beberapa Tanda yang dapat ditengarai sesaat sebelum terjadi aliran debris:
    1. Terdengar suara batang kayu atau batu besar saling berbenturan.
    2. Aliran air sungai tiba-tiba bergolak atau tampak batang kayu besar banyak mengapung.
    3. Tinggi muka air sungai tiba-tiba turun drastis, menandakan kemungkinan terjadi pembendungan alam di begian hulu sungai.
    4. Tinggi muka air sungai tidak segera menurun meskipun hujan sudah reda.
    5. Jika diketahui terjadi runtuhan batu-batu atau longsoran tebing atau lereng gunung.
    Informasi kerawanan banjir dan kerawanan longsor tidak hanya disosialisasikan, tetapi perlu juga ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit dalam tindakan pengelolaan DAS.

Dapat dipahami bahwa setiap pihak merupakan subsistem dari suatu sistem alam yang sekarang sedang mengalami pergolakan. Oleh karena itu, setiap pihak juga perlu belajar dari alam dan kemudian melakukan aksi sesuai kapasitas dan fungsi masing-masing. Kesadaran bahwa semua pihak merupakan sub sistem dan saling terkait satu sama lain perlu diformulasikan dalam suatu tatanan kelembagaan yang disepakati.
Pemulihan kondisi alam dan pencapaian keseimbangan baru membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam kurun waktu pencapaian kondisi alamiah yang seimbang, masih bisa terjadi beberapa gejolak alam yang dapat menjadi bencana. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus diarahkan pada proses keseimbangan alam yang lebih konstruktif dan mampu mengeliminasi proses destruktif.
Dalam penanganan bencana diperlukan konsistensi perencanaan dan implementasi. Perubahan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan politik akan memaksa perubahan perencanaan agar dapat diimplementasikan secara terintegrasi. Oleh karena itu, perencanaan yang baik harus didasarkan pada kondisi terkini, sehingga updating (pemutakhiran) perencanaan tetap sangat diperlukan, di samping konsistensi implementasinya. Dalam konteks penyempurnaan dan updating perencanaan, perlu juga disusun mekanisme yang disepakati semua pihak untuk menindaklanjuti informasi yang ada.